Lapis “Kasta” Bernama MP3: Sebuah Amatan Atas Kedalaman Musik

Dari Indonesia Netaudio Forum
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

“Pak, ini berapa harganya?” “25ribu, Pak”, “Oke, saya beli satu”, “Baik, Pak. MMC-nya nggak sekalian, Pak? Head-setnya?” “Nggak. Sudah ada.”

Lalu...

---setiap orang gembira merayakan kenikmatannya sendiri: di MRT, trotoar, di kamar-kecil, di atas kendaraan, di halte, semua karena MP3, sebuah kasta yang merengkuh dan memikat secara cepat dan sekejap, menyulap musik menjadi begitu tipis, siap ditenteng kapan saja, serta sanggup menuruti kebutuhan telinga harian Anda---

Perubahan atas segala format musik (dan media dengar) dari zaman ke zaman sudah sering dibicarakan, tetapi sejenak kita akan mencoba mengungkit persoalan yang sedikit lebih serius, yaitu tentang hubungan jenis musik, media dengar, dan pencapaian sesungguhnya atas kedalamannya.

Memang seringkali orang tidak peduli masalah ini.

Musik ya musik, bisa didengar tanpa harus dalam.

Contohnya ketika mendengarkan musik orkestra karya Igor Stravinsky atau gendhing megah Ki Tjokro Wasito dalam format MP3, dan hanya dengan menggunakan ponsel pintar. Akan jauh sekali berbeda ketika kita mendengarkannya langsung dalam format lebih detail, misalnya WAV, apalagi menyaksikannya secara langsung di ruang pertunjukan. Apakah ini soal “efisiensi” (pilihan dan konsekuensi zaman), atau masalah kebudayaan? Belum banyak yang meneliti kaitan yang sebetulnya menjadi perhatian ilmu sosiologi musik yang harus kawin dengan fisika ini.

Bukan berarti MP3 adalah sebuah format yang minoritas di aspek estetikanya, namun justru tantangannya ada pada apakah kita berani memilih secara tepat dan memiliki wawasan yang baik atas musik yang kita dengar untuk diputar di media apa dan format apa yang “layak” untuk memutarnya.

Bisa diasumsikan bahwa musik yang hanya berisi gitar distorsi, bas, drum, dan vokal, sudah cukup layak untuk dikonversi menjadi MP3—dan kita nyaman mendengarnya. Namun ketika kita mendengar orkestra dengan 50 jenis instrumen, MP3 tak akan sanggup melakukannya. Maka hal itu janganlah dipaksakan, karena akan semakin “memperburuk” kualitas pendengaran kita, dan akan berakibat pada semakin berjaraknya jiwa manusia akan keindahan yang disusun dan dibahasakan melalui musik itu sendiri.

Kita boleh setuju atau tidak, bahwa di dalam musik, atau lintas keseharian kita, ada drajat tentang telinga dan fungsinya. Sedikitnya tiga: Mendengar (hearing), mendengarkan (listening), dan mendengarkan secara mendalam (deep listening). Mana yang wajib dan mana yang sunnah? Kualitas peradaban mungkin bisa mulai disisir dari telinga dan fungsinya tersebut, bukan hanya dari koar-koar politis yang menggaung menghabiskan banyak duit rakyat tapi sebenarnya bisu.

MP3 adalah seperti ketika kita menyaksikan sebuah foto dengan resolusi kecil, padahal foto itu menyajikan sebuah panorama yang luas dengan jarak pandang yang jauh, sekaligus ada sudut kecil yang menuntut kita untuk tetap melihatnya karena itu objek penting. Kejadiannya akan menjadi blur, kualitas estetik akan berkurang. Dan pasti para fotografer “berdedikasi tinggi” menolak ketika karyanya yang menuntut kedetailan yang tinggi dikonversi menjadi remeh. Dalam musik sama saja, jika di foto disebut pixel, di dalam musik disebut sample, adalah tentang rajutan yang detail untuk membentuk unity dan kedalaman.

Teknologi pada masa kini memungkinkan berbuat semuanya, tidak seperti era gramophone. Pada sebuah perbincangan dengan seorang pianis sekaligus sound engineer saya dijelaskan mengenai sebuah unsur yang di dalam musik lazim disebut clarity (kejernihan) ini. Pada waktu itu studi kasusnya adalah rimshot dan click ketika bermain snare drum. Kelihatannya itu sepele, tetapi ternyata diperhatikan betul oleh si pianis dan sound engineer ini. Satu elemen kecil di dalam musik tidak dipandang sepele oleh yang memperhatikannya secara mendalam. Bagaimana mengatur kualitas yang terus dipertahankan, mulai dari merekam (input), mengedit, mix and master, hingga menjadi sebuah produk dalam format standar dalam CD Audio. Suara hasil rimshot atau click itu tampak kentara, mesti digempur bunyi lain yang berpotensi menabrak batas-batas frekuensinya.

Maka kemampuan daya tangkap telinga manusia yang hanya bisa dicapai melalui deep listening inilah yang penting, sekaligus porsi mendengar juga penting karena tak seterusnya hidup kita digempur kedalaman. Menurut keyakinan saya, MP3 tidak lebih cerdas dari telinga manusia itu sendiri, yang berpotensi menjadi sumber keseimbangan alam semesta: dari mulai di dalam janin hingga tumbuh menua. MP3 hanya bisa sampai di strata mendengar (hearing)—sambil lalu, sementara untuk bisa mendengarkan dan mendengarkan secara mendalam, kita harus memilih format lain yang lebih kentara unsur-unsur musikalnya, misalnya wav, AIFF, atau yang setara dengan itu.

Artikel ini juga bukan tentang fanatisme atas jenis musik tertentu yang hanya menarik perasaan kita. Ini hanyalah sebuah pancingan untuk mengenali musik secara lebih mendalam, terlepas dari pencapaian MP3 yang telah begitu masif dan mampu mengubah cara pandang orang terhadap musik (dan kehidupan) di seluruh dunia.


Penulis: Erie Setiawan, Musikolog, Direktur Pusat Informasi Musik Art Music Today.

Erie bermain musik multi-genre dan menulis beberapa buku, di antaranya: Short Music Service #1: Refleksi Ekstramusikal Dunia Musik Indonesia (2008), Short Music Service #2: Memahami Musik dan Rupa-rupa Ilmunya (2014), Short Music Service #3: Serba-serbi Intuisi Musikal dan Yang Alamiah dari Peristiwa Musik (2015). Tulisan-tulisannya bisa dibaca di: www.artmusictoday.com dan www.compusiciannews.com. Contact person: 081548622425.