Menanti Tawaran Baru dari Netlabel
File:INF3 - Hari Kedua - Panggung Kecil - Temaram.JPGFile:INF3 - Hari Kedua - Panggung Kecil - Hyper Allergic.JPGSemua diawali dari kegandrungan saya dengan musik bawah tanah. Sekitar 2007, kecintaan saya pada musik brutal death metal membuat saya rajin mengakses dan mengunduh berkas-berkas audio yang diumumkan oleh situs seperti The Last Disaster. Kemudian, saya membagikan pengalaman mendengarkan saya melalui forum daring Indonesian Death Metal (IDDM), atau dengan bertukar berkas audio dengan teman-teman yang memiliki hobi sama. Beberapa teman bahkan sengaja meminta saya mengunduhkan album untuk mereka.
Saya ingat betul, almarhum Mustaf Grinder – seorang tokoh senior di scene Metal Yogyakarta – meminta saya mengunduhkan album dari grup Pitbulls in the Nursery karena ia jatuh hati dengan tembang Lunatic Factory. Tak ayal, kebiasaan tersebut membuat saya dijuluki 'Raja Download' di antara teman-teman di kolektif Jogjakarta Corpse Grinder. Dan permulaannya sederhana: kegemaran berbagi tentang musik, khususnya berkas audio, kepada sesama penggemar musik.
Kegemaran tersebut mendorong saya memulai situs yang menyediakan akses untuk mengunduh berkas-berkas musik khusus Indonesia, Empterinan Indonesia. Di sana, saya membagikan koleksi musik pribadi saya, yang kebanyakan merupakan grup musik-grup musik asal Yogyakarta, dengan membagikan tautan unduh berkas audio melalui situs penyimpanan berkas daring Megaupload. Namun, situs tersebut terpaksa gulung tikar setelah munculnya regulasi SOPA yang menjadi dasar hukum pemberhentian Megaupload.
Pada saat yang hampir bersamaan, seorang teman tengah gandrung melakukan aktivitas serupa, tetapi dengan metode berbeda: internet label atau netlabel. Wednes Mandra membagikan berkas musik audio secara daring melalui netlabel-nya, Pati Rasa Records, dengan mengantongi izin langsung dari sang pencipta karya.
Netlabel seperti Pati Rasa merangkum karya-karya tersebut dengan rapi dalam satu tempat penyimpanan berkas digital, seperti Internet Archive. Kemudian, agar karya tersebut tidak digusur oleh regulasi hak cipta yang membatasi, mereka mengantongi izin langsung dari sang pencipta karya untuk mengumumkan dan melisensikan karya tersebut sesuai dengan pilihan lisensi yang tersedia. Melalui praktik saling berbagi ini, musisi-musisi muda bertalenta seperti Frau, Zoo, dan Rabu bermunculan.
Pengalaman Wednes menyadarkan saya bahwa label-label daring seperti Stone Age Records, Yes No Wave Netlabel, Hujan Rekords, dan In My Rooms Records menjalankan suatu praktik yang sama sekali berbeda. Pembeda label rekaman daring ini dengan situs pembagi berkas audio lainnya ialah proses pengumuman karyanya.
Melalui lisensi terbuka seperti Creative Commons, para pendengar boleh mengunduh, membagikan, mereka ulang, dan menggunakan kembali karya tersebut, selama karya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan komersial seperti iklan. Tak seperti gerakan pembebasan karya tanpa hak cipta macam Gereja Kopimisme dan Pirate Bureau, mereka mengambil jalan tengah. Gerakan netlabel memberi tawaran alternatif untuk menjaga keberlanjutan distribusi dan aktivitas berbagi berkas audio, dengan memanfaatkan teknologi pengarsipan dan perangkat lisensi hak cipta yang legal tetapi minim pembatasan.
Pemikiran inilah yang mendorong saya mendirikan netlabel Ear Alert Records pada 2012. Pada prinsipnya, saya memerlukan ruang yang mewadahi kegemaran saya berbagi berkas musik, khususnya karya yang diciptakan oleh musisi Indonesia.
Melalui netlabel, relasi antara sang distributor karya, pencipta karya, dan penikmatnya jadi lebih cair. Selain dapat mengunduh dan mendengarkan karya-karya musik secara gratis, para konsumen juga dapat berinteraksi langsung dengan merespon karya tersebut tanpa khawatir melakukan pelanggaran hak cipta. Semangat inilah yang memungkinkan terjadinya proyek di mana para fans mengutak-atik karya musisi kesukaannya, seperti album remix Bottlesmoker, atau cover song challenge Efek Rumah Kaca yang berkolaborasi dengan Ripstore Asia.
Namun, kini lanskap industri musik telah berbeda jauh. Indonesia Netaudio Festival (INF Festival), forum pertemuan dan pertukaran ilmu antara para penggagas netlabel lokal, terakhir diadakan di Bandung pada 2014. Dari 21 netlabel yang terdaftar di situs INF, hanya segelintir yang masih aktif sampai sekarang. Ear Alert Records sendiri telah berhenti beroperasi sejak akhir 2016. Pilihan jalur distribusi dan konsumsi musik pun tambah beragam dengan datangnya tawaran dari platform lain, seperti Spotify, Bandcamp, SoundCloud, hingga Apple Music.
Lantas, apakah kita bisa beranggapan bahwa netlabel telah ‘punah’? Di tengah hiruk pikuknya ekosistem netaudio di Indonesia, mau dibawa ke manakah gerakan netlabel lokal beserta tawaran-tawarannya?
Mencari Arah Baru
Bagi Anitha Silvia dari INF, saat ini tidak hanya netlabel yang mengusung “semangat berbagi dan mengarsipkan”. Pemikiran serupa juga dapat kita temui di gerakan beberapa label independen lokal, seperti Kolibri Rekords, Nanaba, Hema Records, dan Sorge. Label rekaman yang “non-netlabel” pun menerapkan konsep yang hampir sama dengan netlabel, selama mereka turut fokus pada distribusi konten digital.
Semangat berbagi yang dimaksud Anitha adalah penerapan lisensi terbuka pada tiap album yang mereka terbitkan dalam format fisik maupun digital. Label-label ‘baru’ ini pun menggunakan platform seperti SoundCloud atau Bandcamp untuk menyebarluaskan rilisan mereka dengan lisensi terbuka.
Menurut Woto Wibowo, pengelola netlabel Yes No Wave, semua label kini adalah netlabel karena mereka menggunakan jejaring internet. “Layanan streaming pun sebenarnya bukan hal yang baru bagi ‘netlabel’, karena teknologi audio player digital sudah tersedia sejak awal kemunculan netlabel,” tuturnya. Kini, Yes No Wave pun menghadirkan fitur pemutar berkas audio yang bisa digunakan untuk mendengarkan semua musik terbitan label tersebut melalui situs resmi mereka.
Maka, jika kita ingin mencari titik temu antara “netlabel” dan “non-netlabel”, kita perlu mengubah cara pandang kita dengan menyorot aktivitas fisik yang mereka lakukan, yaitu aktivitas netaudio. Inti dari aktivitas ini ialah bagaimana para pengguna internet berbagi atau mengumumkan karya musik di dalam sebuah jaringan. Pembedanya adalah proses-proses fisik yang dipilih oleh tiap individu maupun kelompok, yang diikuti pilihan mereka tentang bagaimana karya seharusnya disajikan dan diakses di dalam jaringan.
“Kesalahan paling krusial dalam aktivitas netlabel adalah ketika entitas tersebut menjadi sangat spesifik dan eksklusif."
Salah satu kemungkinan baru yang dapat dijajaki adalah dengan memosisikan netlabel sebagai kurator untuk ragam konten audio yang berseliweran di dunia maya. “Sebagian besar netlabel di Indonesia tidak memiliki promosi yang baik di dalam maupun luar jaringan,” kritik Anitha. “Banyak karya yang tenggelam di situs Internet Archive, padahal netlabel sudah berfungsi sebagai kurator, dan fungsi tersebut sangat relevan hingga sekarang.”
Selain memberikan tawaran menarik melalui keterbukaan akses, netlabel turut berperan sebagai pengarsip dan pengkurasi album-album musik yang dapat diakses oleh para pendengar musik. Arahan serupa dapat kita lihat dari geliat redaksi Bandcamp Daily yang sempat menerbitkan satu artikel spesifik tentang rilisan netlabel-netlabel Meksiko, hingga Internet Archive yang menyediakan satu rak khusus untuk koleksi album musik yang diterbitkan oleh netlabel dari seluruh dunia. Meskipun, tentu saja, fungsi kuratorial sebetulnya sama saja dengan fungsi label rekaman pada umumnya.
Namun, fungsi kuratorial justru ditolak mentah-mentah oleh pegiat netlabel seperti Ari, pendiri sekaligus pengelola netlabel Mindblasting. Ia malah menawarkan ide bahwa netlabel berfungsi sebagai perpustakaan yang sedikit banyak membiarkan para pengakses menentukan sendiri produk apa yang hendak mereka konsumsi. “Saya mengoperasikan netlabel ini dengan motif pengarsipan, mengadopsi konsep perpustakaan dan archive.org,” tuturnya.
Dalam praktiknya, Mindblasting mengaku tidak melakukan kurasi terhadap karya-karya yang mereka terima. “Saya pikir hal tersebut akan menghambat proses pengarsipan, pendokumentasian karya musik, serta eksplorasi dan eksperimentasi audio dari para pengakses,” jelas Ari. Selain itu, ia ingin menjadikan Mindblasting sebagai tempat untuk mengangkat karya-karya ciptaan orang yang tidak mengerti cara mengumumkan karya secara daring, atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses ke jaringan internet.
Pemikiran Ari, yang lebih menitikberatkan pada fungsi netlabel sebagai ruang terbuka serta perpustakaan musik digital, barangkali bisa kita kontraskan dengan upaya-upaya pengarsipan musik Indonesia lain seperti Irama Nusantara, Madrotter, hingga Lokananta Project. Walaupun inisiatif yang saya sebut di atas lebih fokus pada pengarsipan musik Indonesia lama, beberapa prinsip kerja dan logika berpikir netlabel dapat membantu proses pengarsipan musik lokal.
Jika melihat prinsip-prinsip legal dalam penyajian konten digital yang merupakan objek perlindungan hak cipta, para netlabel cum perpustakaan ini berada dalam posisi yang lebih kuat. Mereka dapat menjamin bahwa konten yang mereka arsipkan tidak akan diturunkan karena adanya pelanggaran hak cipta – sebab sejak awal, konten tersebut telah dirilis dengan landasan hukum berupa lisensi terbuka.
"Netlabel seharusnya dapat berkembang jadi wacana yang lebih luas."
Kesulitan menyiasati perkara hak cipta inilah yang masih menjadi tantangan bagi Lokananta Project, Irama Nusantara, dan inisiatif pengarsipan lainnya. Mereka tidak dapat selalu menjamin kepastian hukum dalam pengunggahan dan penggunaan konten yang disediakan. Sebagai contoh, Lokananta Project hanya mengunggah sebagian dari lagu yang mereka arsipkan melalui situsnya agar tidak melanggar hak cipta. Tentu ini menyulitkan publik di masa kini dan masa depan dalam mengakses karya tersebut secara bebas.
Sejak awal kemunculannya, prinsip keterbukaan inilah yang menjadi ‘senjata utama’ netlabel. Dalam konteks fungsi promosi, platform tertutup seperti Spotify hanya menyediakan fasilitas mendengarkan secara daring dan luring kepada pengakses karya. Praktik ini dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan pola kerja netlabel yang mempromosikan kebebasan akses dalam strategi promosinya.
Namun, netlabel dan platform tertutup semacam Spotify dan JOOX tidak selalu berselisih paham. Pada 2016, misalnya, netlabel Yes No Wave memanfaatkan Spotify untuk menyebarluaskan album Dunia Milik Kita karya Dialita – paduan suara yang beranggotakan penyintas Peristiwa 1965. Dalam kasus Dialita, Yes No Wave merasa bahwa Spotify dapat membantu “memperkenalkan tragedi kekerasan struktural” tersebut melalui “platform yang lebih populer.”
Maka, kita dapat berkesimpulan bahwa dengan berbagai idealisme yang menjadi tawaran netlabel, sebetulnya ruang gerak pendistribusian konten mereka pun kini tidak jauh berbeda dengan agen-agen lain dalam aktivitas netaudio.
Apakah Kita Masih Membutuhkan ‘Netlabel’?
Bagi Woto Wibowo, kaburnya ambang batas antara “netlabel” dengan “non-netlabel” ini tak mesti dianggap sebagai kiamat bagi gerakan netlabel lokal. “Kesalahan paling krusial dalam aktivitas netlabel adalah ketika entitas tersebut menjadi sangat spesifik dan eksklusif,” kritiknya. “Netlabel terbentuk dari berbagai diskusi dan aktivitas di forum-forum online, di mana user saling berbagi karya di jejaring internet. Sebuah aktivitas yang informal dan alami.”
Adapun saat ini, semua kegiatan riil sudah berada dalam entitas daring. “Jadi, dalam kasus ini, ‘netlabel’ sebagai internet label sudah tidak lagi relevan,” ucap Woto. “Ia sama saja dengan label-label rekaman lainnya yang juga menggunakan internet.”
Memang, satu-satunya yang membedakan netlabel dengan entitas lain adalah wacana tentang kebebasan. Prinsip ini terus bertahan karena netlabel memang tidak bermula sebagai inisiatif industri musik, melainkan dari kultur berbagi berkas secara daring.
Ari dari Mindblasting pun mengamini ucapan Woto. “Netlabel seharusnya dapat berkembang jadi wacana yang lebih luas,” ungkapnya. “Tapi karena ada pandangan bahwa netlabel itu sekadar label rekaman daring, wacana tersebut jadi sulit berkembang.”
Meski festival dengan visibilitas tinggi seperti INF sudah lama tak diadakan, sejatinya kini masih banyak ‘netlabel’ yang beroperasi. ‘Pemain lama’ seperti Mindblasting dan Yes No Wave masih merilis karya baru pada 2018 ini, dan muncul beberapa netlabel anyar dari Yogyakarta dan Magelang, seperti Data Imp, Watch Pineapple, hingga Hot Sauce Records. Belum lagi tersiar kabar tentang kebangkitan kembali ‘netlabel’ asal Bogor yang sempat mati suri, Hujan Rekords.
Namun, geliat di atas masih belum menjawab tantangan para netlabel untuk menemukan tawaran baru bagi kondisi industri musik saat ini. “Apa yang kita sebut 'netlabel' menurut saya adalah label rekaman yang menggunakan jejaring internet tidak hanya sebagai alat distribusi, namun sebagai ruang kritis terhadap industri musik dan pengembangan pengetahuan terbuka,” ujar Woto. “Dengan begitu, istilah 'netlabel' mungkin perlu dibuang saja agar kita dapat selalu responsif terhadap perkembangan dalam penggunaan platform daring. Tentu saja fungsinya tetap sama, yaitu sebagai ruang yang kritis dalam ekosistem industri musik.”
Kita mutlak memerlukan ruang kritis untuk merespon pelbagai perkembangan yang tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang beraktivitas dalam ranah netaudio. Tentu saja, ruang kritis tersebut memerlukan format yang dapat digunakan secara langsung untuk mempraktikkan segala hal yang diwacanakan. “Praktik penggunaan internet dalam aktivitas musik semakin berkembang dan inovatif. Aktivitas tersebut perlu dipertemukan, ditampilkan, dan dibicarakan dalam sebuah ruang peristiwa bersama,” pungkas Woto.
Ditulis oleh Hilman Fathoni dan diterbitkan pertama kali di Jurnal Ruang