Netlabel dan PDKT

Dari Indonesia Netaudio Forum
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Norak ya judulnya? :) Sejujurnya saya sendiri sedikit bingung dan terkejut ketika menerima email dari Tinta yang berisi ajakan untuk menulis di sebuah zine mengenai netlabel. Selama ini saya pikir kontribusi saya di netlabel pun hanya sebatas meminta bantuan kepada netlabel untuk merilis band saya, nothing’s really important actually. Tapi okelah mungkin Tinta dan teman teman penggagas zine tersebut mempunyai pendapat lain mengenai saya. Setelah saya membaca baca proposal mengenai zine tersebut yang sebenarnya merupakan salah satu kegiatan dalam Indonesian Netlabel Union Fest, saya mendadak tertarik, tergugah untuk menyumbangkan sesuatu untuk hal tersebut. Anggap saja saya menulis ini sebagai bentuk balas budi saya terhadap netlabel yang selama ini sudah banyak membantu band saya. Toh saya juga merasa sudah saatnya netlabel di Indonesia mendapatkan perhatian khusus, bukan hanya dianggap sebelah mata sebagai anak haram di “dunia industri musik” tanah air.

Pertama kali saya mengenal istilah netlabel sekitar tahun 2002 atau awal 2003 ketika band saya di tawari untuk berpartisipasi dalam sebuah kompilasi global di bawah label Hammer Smashed Penis/HSP Records, sebuah records label dari Longs Island, USA yang kebetulan di gawangi oleh Jay Decay, vokalis sekaligus programmer band cybergrind 50 Ways To Kill Me. Waktu itu saya saling kirim email dengan Jay dan bertanya tanya tentang seluk beluk rilisan kompilasi tersebut. Waktu dia bilang rilisan tersebut akan di rilis gratis via website labelnya, saya sedikit bingung, terus bagaimana kalau kita pengen dapetin rilisan fisik-nya? yang kemudian dia jawab ya unduh aja di internet, terus cetak sendiri kover dan segala macam nya. Sumpah, saya baru kali itu di kasih tahu hal hal mengenai internet label. Dari situ saya terus bertanya tanya kepada Jay, dan dia jelasin banyak hal mengenai konsep netlabel miliknya yang ternyata awalnya juga merilis rilisan fisik berupa cdr yang di rilis menggunakan box bekas yang di buang oleh penjual DVD film bahkan kover serta inlay card rilisannya pun di foto kopi menggunakan kertas bekas dari sekolahan. Format rilisan fisik nya tersebut yang kemudian mengilhami records label saya yang waktu itu barusan merilis 2 kaset dan kemudian berubah merilis cdr kopian rumah dengan kover kertas daur ulang fotokopian. Awalnya saya juga masih belum tertarik untuk merilis album band saya melalui netlabel sampai kemudian saya di ajakin beberapa kali dalam proyek proyek rilisan netlabel luar negri dan akhirnya mulai ngerti kenapa mereka membuat netlabel. Akhirnya saya pun mengetahui kalo teman sejawat scene saya, Bagus pun bergabung dalam sebuah netlabel pertama di Indonesia bareng sama Wowok. Dan mulailah saya intens berhubungan dengan dunia netlabel lokal yang banyak membantu merilis band saya, seperti Patirasa Records dan Stoneage Records. Well, nggak banyak juga sih sumbangsih saya buat netlabel tadi kecuali “mengikhlaskan” rilisan rilisan band saya untuk di rilis gratis via netlabel mereka. Mungkin sedikit memberi saran atau ide untuk pembuatan sebuah proyek untuk netlabel but nothing more than that.

Kembali ke tawaran dari Tinta untuk membuat sebuat artikel tentang netlabel. Setelah saya menerima tawaran Tinta tersebut, terbersit suatu pertanyaan “lalu apa yang mau saya tulis?” Jujur, segala hal yang berbau internet (kecuali basic stuff seperti email,fb, download dll) saya nggak ngeh, gaptek lah istilahnya. Saya juga bingung ketika saya di suruh nulis sesuatu yang ber tema, saya bukan penulis handal, penulis diary sih iya :) . Sempat beberapa waktu saya nggak membuka proposal dari Tinta sampai akhirnya ketika kantor saya koneksi internetnya terputus (yang artinya makan gaji buta), saya putuskan untuk membuka dan membaca baca proposal tersebut. Terus terang saya bingung mau nulis apaan, di proposal tadi banyak tertulis nama nama yang nggak asing di telingan saya, tercantum beserta deskripsi artikel yang akan mereka tulis. Saya hampir saja tidak menemukan celah untuk menulis hal hal ber tema netlabel yang setidaknya saya ngerti tentang itu, semuanya seakan sudah di booking oleh teman teman yang lain. Sampai kemudian terbersit sebuah pemikiran, kenapa saya nggak menulis dari sudut personal saya? sama seperti saya menulis diary saya selama ini?. Haah, lalu jadilah ide itu yang lalu saya tuliskan langsung di wordpad komputer kantor, saat kantor sedang off line tentu nya. Proses menulis ini saja sudah merupakan hal yang baru buat saya, karena biasanya saya menulis dulu konsep dan coretan coretan di notes/buku kemudian baru di tulis ulang di komputer. Jangan tanya gimana hasilnya, yang penting saya bisa nulis ini dengan lancar berdasarkan pemikiran yang sedang muncul saat itu haha.

Entah kenapa saya selalu menyukai sebuah proses ketimbang hasil. Mulai dari musik, kehidupan sehari hari sampai ke kehidupan asmara. Saya jadi ngerti sekarang kenapa saya lebih menyukai situas ketika saya sedang berusaha PDKT dengan lawan jenis ketimbang pas sudah menjalani status pacaran haha. Nggak nyambung sm netlabel? eits, tunggu dulu. Netlabel dalam hal ini menurut saya juga mirip seperti itu. Kita sering mengalami proses yang melelahkan sekaligus (seharusnya) menyenangkan ketika band kita ingin merekam lagu dan ketika album yang kita hasilkan sepakat untuk di rilis melalui netlabel, di situ mungkin (bagi sebagian orang) merasa kalau netlabel itu jenis label yang “enggak banget” dan masih dianggap sebelah mata dalam artian bikin netlabel itu kok kayaknya gampang banget sih, merilis melalui netlabel itu kayaknya juga gampang banget, tinggal punya domain, upload trs sebar di jejaring sosial. Nah disitu letak persamaan antara kehidupan asmara saya sama netlabel. Proses PDKT di ibaratkan seperti proses sebuah band membuat materi lagu dan merekamnya, sementara proses pacaran itu seperti ketika merilis albumnya di netlabel. Bukannya saya nggak suka netlabel, tapi kalo boleh milih sebenarnya saya sendiri lebih suka merilis album saya sendiri, dengan limited edition cdr yang di burning sendiri di rumah, sebagai sesuatu yang bisa di koleksi. Netlabel bagi saya hampir seperti status berpacaran, yang satu seneng karena mendapatkan apa yang menjadi tambatan hati tapi terasa hambar karena lebih menyukai saat deg deg an ketika proses PDKT, sementara satu nya juga sama seneng nya karena bisa mendapatkan medium untuk merilis albumnya tetapi terasa kurang ketika medium rilisannya tersebut nggak kolektibel. Nggak nyambung kan? bener banget hahaha.

Oke, saya tahu ide awal dari netlabel adalah menyebarkan musik secara gratis dan tanpa batas geografis tapi tetep saja beberapa orang seperti saya menginginkan sesuatu yang bisa di sentuh, di pegang sekaligus koleksi, bukan cuma sekedar di rilis saja. Nah, kebetulan beberapa netlabel seperti Yesnowave memahami pemikiran seperti saya tadi, yang menginginkan sesuatu yang kolektibel, kemudian mereka membuat beberapa kolektibel item yang kadang sangat rare. Band band yang di rilis oleh netlabel pun mengerti tentang hal ini, sebagian berinisiatif merilis semacam rilisan fisik album nya sebagai item kolektibel. Band band seperti Zoo dan Belkastrelka bahkan membuat boxset rilisan fisik mereka. Saya bahkan pernah di ceritain sama Wowok YNW sendiri ketika dia membuat album Sangkakala yang di bikin rilisan fisiknya terbatas dengan medium dub tape dimana sisi A di isi lagu lagu di album Sangkakala rilisan YNW kemudian sisi B di isi rekaman lagu dari band lain. Uniknya tiap kaset yang di bikin, di sisi B nya berisi lagu lagu yang berbeda antara satu kaset dengan kaset yang lainnya. Dan gila nya lagi, kaset tersebut langsung ludes di buru kolektor. Saya yakin ini merupakan salah satu win win solution supaya band dan netlabelnya mendapatkan dana untuk operasional mereka di samping tentu saja menjual merchandise, plus solusi juga bagi penikmat rilisan fisik dan pemburu koleksi rekaman yang kolektibel.

Saya tahu sudah banyak netlabel atau band di luar sana yang juga melakukan hal tersebut, bahkan di Indonesia sendiri juga sudah di lakuin oleh beberapa band and netlabel. Mungkin sekarang saatnya netlabel dan band band yang bernaung di netlabel memikirkan gimana caranya untuk lebih memberdayakan hal tersebut, toh itu juga demi keuntungan mereka juga kan. Jadi nggak cuma sekedar meng-upload rilisan terus menyebarkannya di jejaring sosial dunia maya, tetapi juga membuat setidaknya rilisan fisik lah walaupun limited edition. Ini sebenarnya bukan pemikiran baru sih, beberapa temen saya di luar sana yang mempunyai label fisik juga sudah menerapkan ide ini secara terbalik. Mereka merilis rilisan fisik sebuah band dan kemudian bahkan dengan sengaja mengupload rilisan tersebut di media internet dan di share baik sebagai bentuk streaming atau bahkan bisa di download gratis. Atau memanfaatkan situs semacam Bandcamp yang bisa memunculkan fitur pembelian album download secara sukarela, bahkan dengan nilai minimum pembelian 0 dollar alias gratis disamping juga menyediakan rilisan fisik nya (walaupun limited).

Balik lagi ke saya. Setelah beberapa saat kok saya jadi kehilangan ide buat nerusin tulisan di atas ya hahaha. Begini nih penyakit menulis saya, suka bingung gimana mengakhiri sebuah tulisan, akhirnya jadi ngambang gak sampai tuntas. Mungkin sudah saatnya saya membaca ulang tulisan di atas, sedikit pengoreksian ejaan tulisan tapi saya pengennya nggak usah sampe ngedit bahasa penulisannya, biarin aja kayak gitu, biar orang tau saya bukan orang yang pinter nulis sesuatu yang ber tema :) . Kan sudah saya kasih tahu di awal tulisan, saya bukan penulis tematik yang baik, jadi ya gini deh. Kasihan juga neh sama Tinta yang sudah bela bela in ngontak saya supaya saya mau membuat sebuah tulisan ber tema netlabel, sumpah cuma ini yang bisa saya tulis(setidaknya yang keluar dari otak saya saat ini) mungkin nanti ketika kita bertemu muka, pemikiran saya tentang netlabel bisa lebih berkembang atau malah lupa sama sekali sama apa yang saya tulis di sini hahaha. Ya maaf, namanya juga penulis diary.

Indra Menus - vokalis band hardcore punk yogyakarta TO DIE, vokalis band kolektif post hardcore Last Kiss To Die Of Visceroth dan anggota redaksi EAR magazine, Yogyakarta.