Apropriasi MP3 di Era Distribusi Nirwujud dan Post-nirwujud
Oleh: Michael H.B. Raditya (LARAS – Studies of Music in Society)
MP3 menjadi sosok antagonis dalam keberadaan rilisan fisik. Ia telah meruntuhkan dominasi tunggal atas mekanisme distribusi akan rilisan fisik. Tumbangnya dominasi fisik memang terbukti, beberapa saat setelahnya, format MP3-lah yang lebih digemari oleh khalayak banyak hingga kini. Namun, hal ini tidak semata-mata terjadi, terdaulatnya MP3 menjadi media penyebar musik turut didukung dengan perkembangan teknologi yang masif.
Perkembangan MP3: Teknologi, Prestise, dan Efisiensi
MP3 mulai tenar ketika khalayak sedang asik-asiknya dengan teknologi bernama walkman –pemutar kaset portable– dan cd player –pemutar compact disc portable. Namun baik produsen dan konsumen dari bentuk pemutar kaset dan CD harus menghela nafas dengan kemunculan produk pemutar musik yang lebih simpel bernama iPod, dan sejenisnya –pemutar musik portable tanpa cd atau kaset–, serta fasilitas pemutar musik yang dapat dioperasikan lewat komputer dan selular.
Secara perlahan tapi pasti, hal tersebut turut berdampak buruk kepada produsen dan konsumen pemutar pita dan piringan. Dengan mengatasnamakan “simple dan praktis” sebagai lambang kemajuan zaman, maka muncul sebuah stigma di masyarakat yang menstimulasi pola konsumerisme atas teknologi. Mengikuti tren teknologi menjadi sebuah keharusan, bahkan bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai prestise.
Lagi-lagi, atas nama teknologi, maka khalayak berbondong-bondong membeli pemutar musik yang lebih praktis dan simpel, pemutar tanpa kaset dan CD yang jelas dapat menyimpan kuantitas lagu lebih banyak. Hal ini turut diakomodasi dengan perkembangan teknologi komputer dan selular, yang notabene turut mempunyai aplikasi musik dengan format file sebagai pemutar lagu.
Distribusi Produk Nirwujud dan Potensi-Potensi yang Muncul
Lantas, apakah semua praktisi musik hanya mengikuti arus musik yang dikontekstualkan dengan perkembangan teknologi yang ada? Setidaknya, gelagat ini turut dimanfaatkan oleh band Naif yang sempat mengeluarkan album versi USB pada tahun 2008. Secara ekonomis, sudah barang tentu yang dilakukan Naif adalah strategi dagang, terlebih pada era tersebut rilisan fisik semakin ditinggalkan.
Namun upaya Naif tidak senaif itu, mereka cukup ambivalen, di mana Naif menggunakan teknologi sebagai respon positif mereka atas kemajuan zaman, namun melalui versi tersebut mereka ingin melawan teknologi (khsusnya pada implikasi teknologi, yakni pembajakan). Naif dan band-band lainnya paham bahwa rilisan fisik memang sudah “di ujung tanduk”, lagu yang mereka ciptakan harus dimodifikasi dalam format yang “kekinian” pada saat itu.
Ketika format yang lebih “lunak”, file, dianggap lebih efisien, maka perkembangan musik berubah dari format fisik ke format nonfisik. Ya, dari sinilah format MP3 mulai dianggap sebagai “tanah terjanji”, di mana musik dalam format fisik dapat dikonversi menjadi ukuran file yang lebih kecil tanpa harus mengurangi kualitas lagu. Format ini semakin digemari dengan adanya perkembangan internet sekitar tahun 1990an.
Sejak saat itu, media internet turut memfasilitasi musik dengan file MP3 baik berbayar, ataupun sebaliknya. Perubahan fisik ke nonfisik ternyata turut merubah kultur pendengar musik dalam mendapatkan lagu kesukaannya. Hal ini diartikulasikan dengan baik oleh Hiatt dan Serpick (2007) bahwa internet turut membuat pola bisnis pada industri musik berubah, di mana aktivitas mengunduh MP3 menjadi cara mendapatkan musik secara gratis yang tidak terlacak.
Dalam sebuah penelitian lebih lanjut, Freestone dan Mitchell (2004) menyatakan bahwa para pengunduh tidak merasa merugikan siapapun. Aktivitas ini mereka anggap sebagai perilaku menyimpang paling ringan dalam jagad nirwujud tersebut. Acapkali harga album yang mahal yang menstimulasi mereka lebih kerap mengunduh daripada membeli. Logika praktis ini memang dimiliki oleh banyak pendengar musik kini. Aktivitas mengunduh musik –walau illegal sekalipun– menjadi apresiasi dari individu terhadap praktisi musik penciptanya.
Bagi pendengar, aktivitas ini lumrah dan menguntungkan. Bagi pencipta dan produser, hal ini jelas sangat merugikan. Setidaknya hal ini sangat dirasakan oleh Recording Industry Association of America, pembajakan musik sangat dirasakan oleh mereka, bahkan sampai tahun 2004, mereka mencoba menuntut 1977 individu atas tindakan menyebarkan musik secara illegal, dan pada bulan Oktober, mereka memenangkan kasus terhadap seorang pengunduh illegal (Cook, 2009). Selain itu, banyak praktisi musik yang harus gulung tikar karena langkah unduh illegal dari pendengarnya.
Unduh ilegal memang menjadi implikasi buruk atas keberadaan MP3, namun apa yang dapat dilakukan. Mengunduh musik bagi pendengar layaknya tidak mau membeli kucing dalam karung, di mana pembeli harus melihat dulu bentuk, warna, bulu, anatomi, ras, dsbnya. Namun yang disayangkan, ketika para pendengar sudah mengunduh musik tertentu, mereka tidak melakukan pembelian setelahnya.
Sebatas “mengetahui” lagu baru dari seorang pencipta merupakan apresiasi dari pendengar kini. Jika merujuk pada romantisme fisik, hal ini disebabkan karena tidak adanya nilai kebendaan yang dimiliki secara nyata. MP3 merupakan nilai kebendaan yang tidak nyata, ia akan mengisi space kosong USB, selular, komputer, iPod, MP3 player yang mempunyai kuantitas space yang batasnya dapat diperbesar dengan pembelian memori yang lebih banyak.
Praktik Transaksi dan Distribusi MP3 di Masyarakat
Dalam lanskap musik di Indonesia, perilaku unduh ini turut ditransaksikan oleh sebagian orang. Transaksi MP3 ini pun sudah tidak asing lagi di telinga khalayak kini. Setidaknya banyak pengusaha peminjaman CD yang menyediakan MP3 musik di toko-tokonya. Mereka kerap mengkompilasikan album yang mempunyai kesamaan genre, kesamaan album, kesamaan gender, kesamaan asal, dan sebagainya. Pasar peminjaman MP3 pun cukup menjual, saya pun sempat merasakan menjadi salah satu customer service di salah satu tempat peminjaman, di mana peminjaman MP3 turut digandrungi oleh konsumen.
Selain itu, upaya transaksi MP3 turut diakomodasi oleh para penjual selular. Mereka menyediakan lagu terbaru untuk ditransaksikan. Dengan Rp. 10.000,- para konsumen akan mendapatkan 20-30 lagu terbaru (tahun 2009). Transaksi ini pun pernah saya lakukan di sebuah mall di bilangan Kuningan, Jakarta. Beberapa transaksi lainnya pun dapat dilakukan tidak berbayar, yakni dengan cara copy-paste file musik di USB atau komputer antara satu dengan yang lainnya, menggunakan bluetooth untuk saling bertukar lagu di selular, dan sebagainya.
Namun kini perkembangan distribusi MP3 semakin signifikan. Dengan dalih pemberantasan pembajakan, atau era digital yang lebih digemari. Belakangan ini fenomena aplikasi music streaming menjadi komoditi yang digadang-gadang akan menjadi wajah pemutar musik di masa depan. Beberapa perusahaan seperti: Spotify, Deezer, Rdio, Rhapsody, Guvera, Pandora, Tidal, hingga Apple Music dan Google Play Music yang baru rilis Juni kemarin pun turut berkontestasi dalam mengopersionalkan pemutar musik tersebut. Walau beberapa perusahaan melakukan tarif berbayar tiap bulannya, namun masyarakat Indonesia mulai terjerat dengan model pemutar musik ini.
Kemunculan music streaming pun perlu dicermati secara serius, di satu sisi ia menjadi alternatif baru dalam memutar musik, namun di lain sisi ia telah menghapuskan nilai kebendaan dari musik. Aktivitas mendengar audio yang tidak lagi terbatas pada memori komputer atau selular dari penggunanya, tetapi kapasitas memori dari ruang maya yang terbatasi dari jenis layanan yang digunakan. Dalam hal ini nilai musik menjadi semakin pseudo, tidak ada nilai kebendaan fisik atau nonfisik yang dimiliki konsumen. Yang ada hanya aktivitas medengar secara harafiah, tanpa nilai kebendaan, namun nilai aksesibilitas.
Mengapropriasi Produk Nirwujud
Tidak semua orang menuduh MP3 sebagai biang keladi atas kerugian produksi sekelompok atau seorang praktisi musik. MP3 pun turut dianggap telah memberikan kesuksesan. Cara yang cerdik menggunakan sudut pandang terbalik, mereka paham MP3 telah menjadi konsensus atas media distribusi musik bagi khalayak pendengar, oleh karena itu lagu tidak lagi dianggap sebagai nilai pembelian, tetapi pemacu popularitas. Sehingga semakin besar pengunduhan membuat mereka semakin populer.
Tidak hanya itu, langkah ini turut dilakukan oleh praktisi musik indie, yang menggunakan aplikasi MySpace, Soundcloud, Reverbnation, dan sebagainya, untuk menuangkan kreatifitasnya dalam ruang maya. Beberapa praktisi musik seperti: band Jalan Pulang, Gardika Gigih, Summer in Vienna, Chick & Soup, turut menggunakan media online Soundcloud dalam mendistribusikan lagunya. Sehingga pendengar pun dapat mengaksesnya dengan cara membuka laman di mana praktisi musik menyebarkannya.
Luvaas (2012), seorang peneliti musik, pun mengamini hal tersebut, di mana kesuksesan indie turut didukung dengan media internet, seperti Lily Allen atau Arctic Monkeys yang dahulunya menggunakan MySpace. Luvaas pun turut mengatakan bahwa “open-source and download able recording software have made DIY music production easier than ever. Indie music labels can now convert themselves into netlabels with almost no overhead cost, thereby eliminating middleman”. Bertolak dari pernyataannya, format MP3 turut mengakomodasi praktisi musik indie untuk memproduksi musik mereka secara lebih mudah dan menguntungkan.
Penutup: Bayangan akan Sebuah Era Post-nirwujud
Keberadaan format musik ini memang sangat kompleks, dan memiliki perkembangan akan mekansime musik yang signifikan. Dimulai dari berubahnya nilai kebendaan fisik menjadi non fisik, yang turut membuat perubahan kultur pada produksi, distribusi, hingga konsumsi. Perubahan ini memang dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai kalangan, namun beberapa kalangan merasa kehilangan nilai kebendaan fisik dari musik yang mereka perdengarkan.
Boleh saja kita menyebutnya sebagai romantisme belaka, namun hal ini ternyata tidak semata-mata karena kehilangan nilai kebendaan dari perubahan tersebut, hal ini turut terjadi karena berbagai kalangan merasakan persebaran musik yang masif tanpa kurasi. Di satu sisi pendengar membuat kurasi atas dirinya sendiri, namun di sisi lain, harus tetap ada agen yang dapat mengkurasinya agar lebih terstandarisasi.
Entah apakah kita dapat menyebutnya sebagai post-nirwujud atau post-nonfisik, namun format nonfisik ini sudah mulai diganggu kembali dengan kehadiran rilisan fisik. Hal ini turut nampak dari gelagat yang dilakukan oleh beberapa praktisi musik seperti: Jalan Pulang, Summer in Vienna, dan banyak band indie yang merilis lagunya dalam bentuk CD; Frau, yang turut merilis dalam piringan hitam; dan Risky Summerbee and The Honeythief, yang pada tahun 2015 ini merilis dalam bentuk kaset. Walaupun gelagat ini hanya dirasakan di kalangan kelas menengah semata, namun upaya dari praktisi musik ini telah menjadi stimulasi utama dalam menyikapi era distribusi digital yang semakin acak. Laku ini pun bukan menjadi dilemma beberapa kalangan dalam romantisme fisik, namun sebuah upaya alternatif di era nonfisik, sebagai sebuah wujud resistensi terhadap mainstream mekanisme musik kini.
Mereka tidak melakukan karena alasan retoris kebendaan, tetapi mereka telah mengapropriasikan nilai dan makna kebendaan menurut versi mereka sendiri. Beberapa memilih menggunakan CD, piringan hitam, hingga kaset. Hal ini merupakan bukti kuasa terwujud dalam menentukan format rilisan yang ingin mereka gunakan tanpa adanya kekangan permintaan era non-fisik. Format MP3 memang menjadi media distribusi, kita dapat mengaksesnya tanpa batas, namun musik sebagai nilai dapat dinikmati secara utuh setelah dimiliki dan didapatkan dengan upaya. Dari hal ini, tuduhan akan MP3 tidak bernilai terkesan sangat munafik. MP3 tetap mempunyai nilai, namun penggunanya yang kerap membuat nilai tersebut berubah dan berbeda.
ilustrasi MP3 oleh aberiot.
Referensi
Cook, Nicholas. 2009. “The Economics and Business of Music”, dalam An Introduction to Music Studies, J.P.E. Harper-Scott dan Jim Samson (Ed). New York: Cambridge University Press.
Freestone, O dan Mitchell, V.W. 2004. “Generation Y Attitudes towards E-ethics and Internet-related Misbehaviors” dalam Journal of Bussiness Ethics, 54: 121-128.
Hiatt, B dan Serpick, E. 2007. “The Record Industry’s Decline” dalam Rolling Stone, June 19.
Luvaas, Brent. 2012. DIY Style: Fashion, Music and Global Digital Cultures. London dan New York: Berg.