MP3: The Meaning of a Format – Jonathan Sterne
Sebuah Pengantar oleh Anitha Silvia (pegiat budaya di C2O library & collabtive dan Indonesian Netlabel Union)
“Although it is a ubiquitous and banal technology, the MP3 offers an inviting point of entry into interconnected histories of sound and communication in the twentieth century.”
Sejak tahun 90an, MP3 adalah format audio yang paling populer beredar untuk rekaman audio. MP3 telah menjadi keseharian warga dunia, bergerak dengan lincah di Internet hingga perekonomian jalanan. Lebih banyak album rekaman yang tersirkulasikan dalam format MP3 ketimbang dalam format lainnya. Rekaman yang memasuki dunia Internet akan berjelajah dalam format MP3. Dalam “MP3: The Meaning of a Format”, Jonathan Sterne dengan baik mengulas perkembangan teknologi MP3 dan fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.
Menurut Sterne, MP3 adalah kemenangan dalam distribusi. MP3 melimpah dimana-mana karena mereka sangat-sangat ringan. MP3 menggunakan lebih sedikit bandwith dan ruang penyimpanan dibandingkan file .wav dalam satu cakram padat. Satu cakram padat bisa memuat lebih dari 150 lagu dalam format MP3, dibandingkan file .wav yang hanya bisa menampung tidak lebih dari 15 lagu. Untuk membuat sebuah file MP3, sebuah program bernama encoder mengambil sebuah file .wav (atau format audio lainnya) dan mencocokannya dengan model matematika dari kesenjangan pendengaran manusia. MP3 menjadi sahabat dekat dari aktivitas hearing manusia, mendengarkan audio sambil lalu (sambil mengerjakan aktivitas lain).
“I consider the development and traffic in MP3s as a massive, collective meditation on the mediality of sound and especially hearing, music, and speech. I use the term mediality (and mediatic in adjectival form) to evoke a quality of or pertaining to media and the complex ways in which communication technologies refer to one another in form or content.”
Menurut Sterne, perhatian pada dimensi mediatic atas format juga membantu menjelaskan mengapa 128 kbps (kilobits per second) menjadi the default bitrate untuk MP3 dalam program yang populer seperti iTunes.
“The MP3 format feels like an open standard to end—users. We can download software that encodes or plays back MP3s for free, and we can of course download MP3s for free, whether or not we are supposed to do so. Even developers can download the source code from Fraunhofer (which holds the most patents) for free. “
“MP3 is a nonrivalrous resource because from a user’s standpoint, making a copy of an MP3 for someone else doesn’t deprive the original user of its use. An MP3 costs almost nothing to make and reproduce — once someone has invested in a computer, software, a relatively reliable supply of electricity, and some kind of internet connection (because of these costs, we cannot say that it is truly free even when it is not directly purchased).”
Menurut Sterne, berbagi file secara massal memang mendorong terjadinya krisis dalam beberapa bagian industri musik, namun juga mendorong sebuah kesempatan untuk memikirkan kembali organisasi sosial atas musik. Kisah berbagi file biasanya dibahas hanya dari satu sisi saja yaitu sisi tragedi yang menimpa para pelaku utama dalam industri rekaman, terutama pihak label rekaman yang adalah bagian dari konglomerat transnasional. Sisi heroik dari berbagi file adalah sebagai bagian dari pergerakan sosial yang melawan monopoli major-label atas distribusi musik. Berbagi file juga menjadi bagian dari sejarah pembajakan audio, mulai dari pirate radio di Inggris dan pembajakan kaset di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam kasus ini, pembajakan itu sendiri adalah sebuah pasar, ini memberikan nilai bagi banyak orang, tidak hanya para produsen/penjual produk bajakan.
“MP3: The Meaning of a Format” sangat penting sekaligus menyenangkan untuk dibaca. Kita bisa melihat Indonesia dari penggunaan MP3, itu menjadi pembahasan yang menarik karena distribusi musik yang terjadi di semua kalangan di seluruh sudut kota dan desa adalah dengan format MP3. Silakan mengunduh dan membaca buku ini di tautan ini (untuk “fair use”):