Press Pause Play: A Film about Hope, Fear, and Digital Culture
Kita sudah sering mendengar, entah keluhan entah antusiasme, bagaimana percepatan teknologi yang luar biasa dengan “revolusi digital” menimbulkan berbagai perubahan, potensi maupun kendala baru. Di satu sisi, revolusi digital memungkinkan berbagai metode produksi, distribusi dan konsumsi berbagai produk dan informasi dengan kecepatan dan kualitas teknis yang tak terbayangkan 10 tahun sebelumnya. Di sisi lain, sudah sering pula kita dengar keluhan-keluhan, bagaimana banyaknya produk dan informasi ini, membuat kita tenggelam dalam kebanjiran lautan “sampah” budaya massa.
“Demokrasi budaya, ataukah kesemrawutan budaya?” Inilah fokus pertanyaan dalam film dokumenter dengan kemasan yang media yang cantik ini. Melalui wawancara dengan berbagai tokoh media seperti Moby, Seth Godin (penulis The Idea Virus), Andrew Keen, Sean Parker (Napster), kita bisa melihat berbagai pandangan yang berbeda, bahkan berlawanan, mengenai revolusi digital ini. Mulai dari yang sering kita dengar, seperti bagaimana teknologi baru—terutama personal computer—sangat memudahkan produksi, distribusi dan konsumsi. Pembuatan film yang sebelumnya memerlukan misalnya 6 bulan untuk produksi, dan memerlukan berbagai peralatan yang mahal, kini dapat dilakukan (oleh bahkan anak kecil) dalam waktu 5 menit, hanya dengan menggunakan satu komputer, dengan berbagai perangkat lunak (asli maupun bajakan).
Nah, kemudian kita mendengar pandangan-pandangan yang merasa tidak nyaman mengenai kemudahan produksi ini. Andrew Keen terutama sangat keras menentang “demokratisasi” ini, yang menurutnya membawa kita ke dalam zaman gelap kreatifitas. Menurutnya, “When you leave everything to the crowd, and everything becomes democratized, and everything becomes determined by the number of clicks, you by definition are undermining the seriousness of artistic endeavour.” Tidak lagi ada nilai kreatifitasnya, katanya.
(Saya pribadi kurang setuju dengan pandangan yang terasa sangat elitis dan merendahkan ini. Karena pada kenyataannya, permasalahan banjir informasi dan produk ditanggapi secara aktif oleh penonton. Muncul sumber-sumber penyaringan dan akreditasi alternatif di luar sumber-sumber “mapan”. Jaringan-jaringan komunikasi horizontal dibangun berdasarkan inisiatif, minat dan hasrat. Di dalamnya, terjadi penyaringan relevansi dan akreditasi yang umum kita temukan dalam peer-review. )
Kemudian film ini membahas keluhan-keluhan lain. Seperti misalnya, hancurnya industri lama dan maraknya pembajakan. Atau pendapat umum mengenai menurunnya kualitas dan kuantitas talenta, keinginan bekerja keras, dan kemampuan karena generasi saat ini makin bergantung pada teknologi, dan karenanya tidak lagi memiliki ide dan keinginan yang kuat.
Scott Belsky, dari Behance Network ( HYPERLINK "http://behance.net" http://behance.net), menentang pandangan ini. Menurutnya, talenta-talenta baru makin banyak, dan mereka bukannya tidak punya keinginan atau kecintaan yang kuat pada apa yang mereka kerjakan. Tapi talenta-talenta baru tidak ingin bekerja dalam sistem yang kaku, seperti harus ngantor pada jam atau tempat tertentu. Mereka ingin fleksibilitas, bekerja dengan syarat dan ketentuan mereka sendiri, dengan software dan hardware yang mereka sukai, untuk projek yang mereka inginkan. Mereka kini dapat bekerja sendiri, merepresentasikan diri sendiri, membangun karir mereka sendiri, tanpa harus bekerja dalam suatu agen. Mereka bisa membangun usaha dan brand mereka sendiri.
Tapi, justru di sinilah tantangannya. Para pendidik sekolah film menjelaskan bahwa kini banyak generasi murid-muridnya terbiasa melakukan semua sendiri. Mulai dari penyutradaraan, pengambilan gambar, editing, hingga pembuatan musik dan akting, kini bisa dilakukan sendiri. Sehingga, orang terbiasa menyimpan ide dan gambarannya dalam kepalanya sendiri, dan justru tidak terbiasa menjelaskan dan menkomunikasikan ide mereka. Menjadi kesulitan dalam berkomunikasi, suatu hal yang sangat penting dilakukan untuk proses kolaborasi.
To understand what your story is to the degree so that you can describe it to other people, so you can then help them join in in your storytelling. Our students need to be comfortable with the pace at which things change. We can’t teach today’s technology, because in 5 years, that will be gone. We need to tell our students how to tell a fact of stories, using images, and to be comfortable with how the technology is changing, every single year.
Tantangan lain yang dibahas di sini adalah hilangnya pembangunan kemampuan yang mendalam. Komputer yang sangat memudahkan produksi, sering dikatakan juga menurunkan kemampuan. Karena kemampuan yang rendah dapat dengan mudah dikamuflasekan dengan teknologi yang canggih.
Belum lagi, jangka perhatian yang makin memendek serta kecenderungan multi-tasking. Dibahas di sini keluhan mengenai ketiadaan “sakralitas” dalam menikmati musik atau film—kita cenderung menonton film atau mendengarkan musik (dalam komputer atau apapun gadget kita) sambil membaca, mengecek email, Facebook atau Twitter.
Now, I always do something else while listening to music, pretty much always. It’s almost like you’re processing data, if you’re doing it through your computer screen. You’re denying yourself the pleasure of just listening to music. And you’re making it into just another task, like checking your emails, or updating your twitter…
Watching movie and reading movie, or more often, watching movie and checking my email, or watching a TV show and doing my work. We live in an incredibly attention-deficit culture. This is what the creators are up against—they have to trick people to watch what they make.
Menjelang akhir film, dibahas mengenai makin meningkatnya peran waktu, tempat, dan acara. Bagaimana dengan menurunnya sakralitas lagu yang bisa kita unduh (secara legal ataupun resmi), live performance menjadi atraksi di mana kita bisa mendapatkan pengalaman satu-satunya, di mana kita mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai bagian dari sesuatu, menjadi identitas kita.
Dengan menampilkan berbagai pendapat yang berbeda—bahkan berlawanan—melalui wawancara, film ini berusaha untuk tidak terlalu menghadirkan pendapatnya sendiri, tapi memberi gambaran dan pemahaman yang lebih luas. Benang merah yang digunakan di tengah-tengah “keramaian” opini ini adalah cerita Ólafur Arnalds, seorang komponis klasik Islandia. Teknologi memungkinkannya untuk berkolaborasi dengan penggemarnya dalam pembuatan video musiknya, dan dengan Royal Northern College of Music di Manchester, Inggris.
Dengan menampilkan contoh-contoh menarik yang berbeda-beda, akhirnya, film ini tidak memberi kita pandangan hitam putih apakah revolusi digital baik ataupun buruk. Tapi mereka semua setuju, bersemangat sekaligus ketakutan, menghadapi kecepatan teknologi yang membuat banyak perubahan. Meskipun makin sulit bagi kita untuk menemukan karya “berkualitas”, teknologi juga memungkinkan kita untuk menemukan hal-hal yang sebelumnya berada di luar jangkauan kita. (Bayangkan saja, film, musik, dan eBook.) Tapi tentunya bersamaan dengan ini ada pula yang hilang dan berubah, dan dapat dilihat salah satunya dengan meningkatnya peran ruang, waktu, dan real-life experience.
Jika ada yang sedikit saya sayangkan, film ini berhenti di sini, dan tidak membahas lebih dalam mengenai perubahan konsep ruang dan waktu ini. Beberapa pendapat menurut saya terlalu banyak diulang-ulang. Akan lebih baik jika waktu yang ada dialokasikan untuk membahas isu ketidakseimbangan dalam revolusi digital. Karena selain teknologi dan kemampuan produksinya itu sendiri, perlu juga dibahas mengenai jaringan (distribusi), dan bagaimana ini bergantung pada infrastruktur keterhubungan yang melibatkan berbagai dimensi. Tapi secara umum film ini sangat patut kita tonton.
Film ini bisa diunduh gratis dari situsnya, http://presspauseplay.com, dengan menggunakan torrent untuk versi standard. Tersedia juga versi interaktif dalam versi Adobe Air. Ada juga pilihan membeli melalui iTunes atau Amazon. Silakan memilih, dan selamat menikmati.
Oleh Kathleen Azali
C2O Library & Collabtive