Review: Zoo - Trilogi Peradaban dari Kacamata Reviewer Kasmaran
“Aku berhias dulu ya”, katanya. Kami tak sedang ataupun akan berkencan. Kencan adalah pertemuan yang menjijikkan karena harus dilandasi persetujuan kedua pihak. Ngomong-ngomong masalah berhias, gadis pujaanku tak jua sadar bahwa tak ada yang perlu ia poles sebab semuanya telah sempurna. Ya, maklumlah. Saya memang [sedang] kasmaran.
Ia tak pernah lama bersolek. Kan sudah saya bilang, sebenarnya ia tak perlu berdandan jika tujuannya menarik hati saya. Tapi bukan itu maunya. Entah apa maunya. Ah, persetan apa maunya. Yang saya pikirkan adalah bagaimana menghadapi void selama ia berdandan. Menunggu, bagi yang kasmaran, adalah ujian bahkan siksaan. Jadi, harus ada yang saya lakukan untuk mengisi kekosongan. “Cepat temukan sesuatu!” perintahku pada otak dalam batok kepala.
Hening.
Alhamdulillah. Sebelum void berubah menjadi ennui, otak saya, entah yang kanan atau kiri, menyarankan untuk berceracau tentang ‘cepat’, kata pertama pada kalimat perintah yang ditujukan padanya. Ide bagus!
Jadi, mari bicara tentang ‘cepat’ dengan ringkas karena kisah cintaku menunggu manis untuk diselesaikan dan kiamat berdiri di sampingnya.
Kawan, ‘cepat’ itu seperti Mardi Lestari. Masih ingat Mardi Lestari? Namanya harum sebagai manusia tercepat se-Asia Tenggara 20 tahun silam. Dari dongeng yang entah dari sumber keberapa sampai ke kuping saya, Mardi Lestari bisa ditengarai sebagai manusia cepat yang primitif. Tak ada tempaan khusus dan tak ada pula keinginan meraih bonus [kala itu bonus bagi atlet hanya kepastian menjadi pegawai bank atau PNS]. Sebagai seorang sprinter, yang ia inginkan hanya naik pesawat terbang gratis lantas lari terbirit-terbirit menembus garisfinish, seperti Forest Gump saat menyelamatkan atasannya di medan perang Vietnam.
Saking penasarannya, saya sampai menulusuri riwayat pendidikan singkat manusia Jawa kelahiran Sumatra ini. Nihil! Ia tak pernah dididik menjadi pelari. Tak pernah ia secara formal belajar menjadi guru olah raga [satu-satunya cara menjadi akademisi olahraga di negeri ini]. Tapi siapa nyana, Mardi-lah salah satu pelari Asia pertama yang beraksi menantang Ben Johnson dan Carl Lewis di perempat final Olimpiade. Berlari, berlari, berlari. Itulah yang ia pikirkan. Yang ia tunjukkan hanya intuisi yang ditempa latihan. Tak perlu gelar formal guna menetak rekor nasional lari 100 meter [10, 20 detik] yang tak keropos 20 tahun, sampai akhirnya dipertajam Suryo Agung, pelari yang dibesarkan lewat pendidikan formal lokal, beberapa tahun silam. Ahoy, butuh 20 tahun untuk menghapus hasil karya Mardi, sang pelari intuitif.
Sebentar, ia masih asik mengulas ujung kulit penutup matanya. Apa yang diulas tak sejernih matanya. Aku masih tekun menatapnya. Selalu mengasyikkan memandang seorang wanita, aduh maksudnya gadis, kala menjadi Narcissus.
Mumpung ia masih sibuk, mari lanjutkan obrolan kita, masih tentang kata ‘cepat’.
‘Cepat’ itu kawan, seperti Mike Tyson. Aduh, sebelumnya maafkan saya, dongeng paragraf ini bukan tentang pahlawan lokal layaknya Chris John apalagi Ellyas Pical. Keduanya bukan tipe petarung cepat. Ibarat Samurai, Chris dan Pical adalah produk gagal. Tyson, sebaliknya, mengerti bahwa tinju seharusnya berlangsung cepat layaknya duel samurai. Maka, sejarah mencatat betapa juara sejati kelas berat termuda ini kerap menjungkalkan lawannya di babak-babak awal. Walhasil, siaran tinju, kala itu tentunya disponsori SDSB [Sumbangan Dana Sosial Berhadiah], harus dihadiri dari detik awal. Bukan karena pada saat itu Don King muncul, tapi lebih karena Tyson terlalu cepat mengakhiri lawan. Tyson = Brutal, Primitif dan Cepat.
Sayang, Si leher beton alias Iron Mike kerap tersandung kasus pemerkosaan. Tak ayal, ia harus mendekam di hotel prodeo selama 3 tahun. Lebih disayangkan lagi, ia sempat pula mencoba trik kuno: masuk Islam biar keren. Masih ingat nama barunya ketika hijrah? Yup, Mike Abdul Aziz. Tipuan bagus! Sayang, cuma Ali yang berhasil memakainya. Jangan heran jika kini Tyson tak lebih dari sekedar badut yang menjual tinju guna membayar hutang. Tak ada Tyson yang garang; tak ada Tyson yang brutal. Kami rindu Tyson dan kami benci Vitali Klitschko. Nama yang kami sebut terakhir adalah robot. Ia tak bertinju; ia bermain catur!
Wah, saya lupa bercerita tentang episode Tyson menggigit lepas kuping Holyfield. Tapi mari kita lompati episode itu, karena gadis pujaanku tak pernah lamban saat mengulas kelopak matanya.
Masih tentang ‘cepat’, dan ‘cepat’ itu adalah Christian Hadinata –Ade Candra dan Tjun-Tjun – Johan Wahjudi. Mereka , kini tua dan dikaruniai banyak uban, adalah lelaki yang selamanya mengubah pertandingan ganda putra bulutangkis. Kecuali Christian Hadinata, mereka kini hanya berperan sebagai catatan kaki abadi dongeng bulu tangkis Indonesia. Yang jelas, dua pasangan ini pada dekade 70-an memutuskan bahwa untuk menjungkalkan dominasi ras Kaukasian hanya ada satu celah tersisa: bermain cepat. Dengan perhitungan bahwa kita ras Asia punya kelebihan dalam hal bergerak cepat. Lawan tubuh yang jangkung adalah permainan tangkas, pengurangan tekanan pada lob serta ekplorasi habis-habisan atas drive, backhand drive, netting tipis dan tentunya smash [hebat kan analisa saya?].
Sejak itu, ganda putra bulutangkis adalah ladang emas dan bonus bagi lelaki ras kuning. Tanpa Christian Hadinata – Ade Candra dan Tjun Tjun-Johan Wahjudi, tak akan ada Ricky Subagja-Rexy Mainaki, apalagi Markis Kido dan Hendrawan [otak saya lagi terkena sindromchauvinist, jadi sepertinya lupa pasangan hebat luar negeri seperti Sidek Bersaudara dari Malaysia, maaf!]
Ups, matanya sudah hampir selesai dipercantik. Ayo lekas, selagi masih ada beberapa detik sebelum bibir indahnya menarikan lakon ballet yang sudah lama kuhafal.
Masih ada waktu. Masih tersisa sejumput saat.
Akhirnya, ‘cepat’, kawan, adalah 4 lelaki Jogja yang sepakat membentuk sebuah unit musik bernama Zoo. Saya kebetulan susah mendiskripsikan musik dalam album Trilogi Peradaban. Maklum, kan saya buru-buru. Nah kan! Kini mata si gadis hampir rampung diberi rona. Kaca hiasnya sudah mulai diturunkan.
Terpaksa saya curang. Saya ekskavasi kenangan, dan rasanya saya pernah menulis kalimat ini entah di mana: Trilogi Peradaban adalah konsep album paling terarah yang ada di tahun 2009. Rully dkk. membuka paksa kedok kepalsuan kehidupan modern; Lihatlah urutan peradaban yang dijejerkan secara terbalik. Zoo bahkan bisa menggambarkan regresi kehidupan manusia dengan mempreteli kompleksitas musik; dari berisik hingga sendu, dari drum dan gitar hingga hanya gitar. Bukankah sejalur dengan ; Dari modern sampai primitif, dari Neolitikum menurun hingga Palaeolithikum.
Jika bingung, sesungguhnya saya ingin bilang, “Trilogi Peradaban adalah bukti tak terbantahkan bahwa orang Jogja juga bisa secepat footwork Christian Hadinata, seagresif Tyson, dan seprimitif Mardi Lestari”. Trilogi Peradaban menghapus lambannya bedoyo. Album ini memadatkan sindiran terhadap modernitas di komik karya Warren Ellis dan buku kocak a la Douglas Coupland dengan iringan musik Zeuhl a la Ruins, juga keunikan Cause For Conflict atau mungkin semangat proto punk [semoga pemahaman musik anda selevel dengan saya]. Pokoknya berisik, cepat padat dan, kadang, berderau.
Kritik pada modernitas memang harus singkat sebab hidup menggilas ganas. Lagian, hidup tak usah dihabiskan dengan mencibir. Masih ada cinta, Bung! Dan kini cinta saya hampir busuk karena lama diperam.
Maka dalam hati, saya berlatih merapal kalimat itu: “Jellybelly, well you know I am still in love wi…”
Ah, kaca hiasnya kini sudah hilang diganti matanya yang jernih, memijar, dan menjaring. Gagal lagi. Kali ini sepotong kenyal agar-agar yang tertawa. Bibirnya bergerak lancar mengucap, “Yuk!”.
Sejurus berikutnya, satu lagi reaktor nuklir meledak di Jepang. Persib bertekuk lutut pada Persija. Maniak konser memadu derap ke Kemayoran. Pusat Dokumentasi Sastra kabarnya akan ditutup, dan Harry Mukti masih menyanyikan rima yang sama:
“Hanya satu kata / Kembali karam di hati” Mochamad Abdul Manan Rasudi
- dicomot dari naskah teenlit yang tengah masuk meja editor di sebuah penerbit lokal. Terbit April ini.